Buku Sekolah dan Letupan Cerita Masa Lalu yang Mengiang

Gambar : Pinterest.com

Saat ramai kelulusan SNMPTN tahun ini tiba-tiba menghenyak ingatan saya pada puluhan tahun silam. Saat guru Aliyah kelas tiga saya menceritakan tentang dunia perkuliahan. Saya tidak tahu kenapa, dan entah hal indah apa diceritakan. Saya tidak ingat detailnya. Tapi yang saya ingat dengan pasti, tiba-tiba muncul niat hati untuk kuliah. Itu yang merubah segalanya.

Bermodal itulah, pasca lulus saya tidak punya cita-cita yang lain selain bisa kuliah. Padahal kalau dilihat dari kacamata penghasilan keluarga, saya tentu tak bisa. Kenapa? karena sejak saya duduk di bangku SMP, bapak mesti merantau, pergi-pergi ke luar daerah untuk membiayainya.

Dalam rentang ini, biasa bapak pulangnya bisa mingguan atau bulanan. Itu biasa dilakukan ketika saya butuh biaya bayar SPP atau buku sekolah, Latihan Kerja Siswa (LKS). Maka ketika ada pembagian buku LKS, bukan isi soalnya yang membuat saya resah, tapi menyampaikan kepada orang tua, terutama bapak. Biasa saya gundah menerima buku latihan sekolah itu, sejak buku itu saya tenteng dan kantongi dalam tas sekolah. Berat sekali. Membawa pulang buku semacam itu ke rumah dan memberitahukan kepada orang tua, adalah hal terberat selanjutnya.

Saya masih terbayang bagaimana respon bapak, melihat buku LKS sembari menghela nafas dan menghempaskan tubuhnya. Saya tahu artinya.

Tak lama setelah pemberitahuan itu, biasa saya akan diberi tahu untuk bisa mengantarnya pergi. Sebelum Subuh, naik sepeda ontel menyusuri dingin sepertiga malam. Sekitar 7 km naik ontel untuk bisa sampai ke jalan besar, jalur lalu lalang bis antar kota. Tak lama, bus akan datang dan membawa pergi bapak dengan banyak harapan.

Setelah itu, saya langsung pulang sendiri menyusuri pagi buta. Dalam perjalanan, biasa saya entah berdoa atau menghayal, selalu berucap dalam hati : semoga bapak cepat dapat kerja, dan kerja yang ‘enak’. Peristiwa seperti ini berlangsung entah berapa kali, sering sekali, setiap saya butuh biaya sekolah.

Perjuangan semacam ini membekas terus dalam hati. Sebagai anak belasan tahun, harapan semoga bapak dapat kerja ‘enak’ juga selalu terlantun jua. Kerja enak yang saya maksud saat itu tentu adalah kerja yang bisa menghasilkan bayak uang dan tidak terlalu berat untuk orang tua seusianya.

Setelah hitungan minggu biasanya bapak pulang. Tidak ada hitungan bulan untuk sistem waktu kerja bapak. Karena memang katanya, gaji pekerjaan bapak adalah mingguan. Meski 4 atau 5 minggu, tetap hitungannya bukan bulan.

Setelah pulang, biasanya bapak akan bercerita tentang pekerjaannya. Saya mendengarkan dengan duduk di dekatnya. Padahal bukan sebenarnya cerita yang mau dengar, tapi badan ini yang mau saya dekatkan dengan bapak. Ya, mungkin rindu yang mau saya tuntaskan.

Saya ingat. Kelas 2 SMP kerja mingguan bapak tidak bisa lagi mencukupi dan mengimbangi biaya sekolah dan biaya hidup keluarga. Bapak merantau ke luar pulau. Jauh. Hitungan tahun untuk bisa pulang, kumpul bersama keluarga.

Untuk ini, saya tak ingat betul momen perpisahannya. Yang pasti saya masih ingat doa saya kala itu, “semoga bapak dapat kerja yang bisa menghasilkan uang banyak, sehingga tidak pergi-pergi lagi”.

Tapi, belum juga. Bapak masih pergi untuk membiayai sekolah saya. Itulah membuat saya tidak bercita-cita untuk melanjutkan sekolah. Cukup sampai SMP saja.

Tapi melalui Pak Lek (Paman), bapak berpesan agar saya bisa melanjutkan sekolah lagi. Saya tidak punya bayangan untuk sekolah apa, ngikut saran Pak Lek saja, sekolah apa saja yang penting tidak memberatkan orang tua.

Sekolah Aliyah jadi pilihan. SMP saja sudah menghempaskan bapak untuk pergi jauh mencari biaya. Dan Aliyah, membawa serta mmak untuk merantau bersama bapak. Tinggallah saya, adik dan nenek di rumah.

Momen itu memantik saya untuk bisa cepat kerja selepas Aliyah. Ikut bantu mmak-bapak biayai hidup dan sekolah adik. Tapi apalah dikata, Aliyah ternyata membuat saya punya cita-cita tambahan. Kuliah. Seperti awal cerita pembuka tulisan ini.

Bercita-cita : lulus Aliyah, kemudian kerja sambil kuliah sembari membiayai sekolah adik yang saat itu duduk di bangku MTs. Tapi cita-cita saya tersapu angin kenyataan. Dan ternyata, ijazah Aliyah hanya membawa saya kerja serabutan. Dua tahun saya menjalaninya. Merantau kiri-kanan, kerja dengan bayaran mingguan.

Akhirnya, adik saya lulus MTs dan saya tak mampu bantu biayai untuk melanjutkan sekolahnya.

Meskipun begitu, tetesan keringat saat saya kerja serabutan semakin menguatkan tekad untuk saya bisa kuliah. Dan akhirnya saya bisa kuliah.

Cerita singkatnya, ada keluarga yang mampu meyakinkan bapak bahwa saya bisa kuliah, sembari sambil kerja. Saya ikut, dengan niat tidak membebankan lagi biaya pada orang tua yang semakin renta.

Dengan uang saku terlipat kecil dan biaya naik kapal laut, saya ingat pesan bapak, “la haula wala kuwwata, modalmu kuliah”. Saya camkan dalam hati. Saya berangkat hingga mampu Sarjana.

*****

Maka saya sedih, ketika ada orang tua yang kuat secara finansial tak menyekolahkan tinggi anaknya. Dan saya jengkel pula ketika ada anak yang menyia-nyiakan keberuntungan mereka, lahir dari keluarga yang mampu menyekolahkan.

Saya terkadang marah pada kemiskinan, yang membuat saya tak bisa menikmati waktu kebersamaan bersama keluarga, yang memisahkan saya dengan mmak-bapak dalam waktu yang lama.

Marah, pada ketidakberuntungan secara finansial yang membuat adik saya tak mampu melanjutkan sekolahnya.

Tapi ketika letupan masa lalu itu tiba-tiba muncul mengiang, saya melihat polos wajah dua anak saya : Wusqo dan Khurun. Saya ingin menikmati setiap detik kelucuan dan pertumbuhannya dan berdoa “semoga tidak ada lagi anak-anak yang terpisah secara terpaksa dari kasih sayang tuanya karena ketidakberdayaan atas biaya hidup dan membayar ongkos buku sekolah seperti saya”.

Atas itu, terima kasih kepada pemerintah dengan program sekolah gratisnya.

Untuk anak-anak yang memiliki keberuntungan dan lulus SNMPTN, saya ucapkan selamat dan pesan saya, “jangan pernah sia-siakan keberuntungan Anda”.