Polisi Berjiwa Sipil, Adakah?

Seorang mahasiwa mengeram kesakitan. Kepalanya bocor dihantam benda tumpul dari seorang aparat kepolisian. Darah mengucur deras membasahi rambut dan wajahnya.

Sebagian pengunjuk rasa menggotong ramai-ramai dan menjauhkannya dari aparat yang sedang beringas menghadapi demonstran.

Kejadian itu sontak membuat khalayak kagek tak percaya. Mereka tak menyangka perlakuan polisi seperti itu. Sebagian memprotes. Sebagian lagi menyayangkannya.

Beragam pertanyaan muncul.

Apakah membubarkan aksi mahasiswa di Pamekasan mesti menumpahkan darah?  Apakah itu  satu-satunya solusi? Tak adakah cara yang elegan dalam membubarkan aksi? Tanya mereka.

Sementara yang lain meminta oknum aparat pelaku tindak kekerasan di jatuhi sanksi pemecatan. Sebagai buntut ulahnya. sekaligus jadi peringatan supaya kejadian serupa tidak terulang kembali.

Kisruh aksi kekerasan polisi di Madura itu, seakan menjadi coreng menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Bhayangkara ke-74 di tengah tuntutan agar polisi tampil lebih profesional dan humanis.

Sebenarnya bila kita menelisik sejarah kepolisian maka ditemukan pada awal abad ke-19 penggunaan kekerasan dan cara-cara militer sudah trend di kalangan polisi.

Tersebutlah sebuah kisah terkenal dengan sebutan “Pembantaian Peterloo”.

Peristiwanya terjadi tahun 1819, saat itu polisi diperintahkan untuk menangkap seorang lelaki bernama Henry Hunt. Ia pimpinan aksi massa di lapangan St. Peter Inggris.

Oleh pemerintah Hunt di nilai menghasut warga melawan penguasa. Ia lantas ditangkap. Jaksa bahkan memerintahkan pasukan berkuda membubarkan aksi dengan cara kekerasan hingga jatuh korban.

Seperti menghapus lembaran hitam sejarah kepolisiannya. Tahun 1829, Inggris membentuk “The London Metropolitan Police Force” yang merupakan cikal bakal polisi modern internasional.

Sejak itu kepolisian di dunia mulai meninggalkan “gaya militer” dan menggantinya dengan “gaya sipil”. Merubah dotrin kekerasan menjadi dotrin melindungi. Terkhusus saat menghadapi pendemo.

Dotrin sipil ini kemudian berlaku universal.

Di Amerika, dotrin polisinya to protect and to serve (melindungi dan melayani), sedangkan polisi Belanda memiiiki dotrin Vigilat un Quiescant (kami berjaga agar setiap orang dapat beristirahat).

Tugas polisi bukan “menghadapi rakyat” tapi “berteman dengan rakyat”.

Di Indonesia ketika Orde Baru berkuasa. Polri menjadi bagian ABRI. Polisi di satukan dengan tentara. Maka dotrin militer berlaku, yakni dotrin “Hancurkan musuhmu”. Sangat berbeda dengan semangat dotrin universal polisi.

Barulah ketika Orde Reformasi, Presiden Gus Dur memisahkan polisi dengan tentara. Polri otonom dan berbenah diri agar tampil profesional

Polisi profesional adalah polisi yang bekerja atas dasar moralitas yakni “menyayangi masyarakat”. Tidak semata-mata melindungi “Kepentingan pemerintah” yang sering diselipi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Polisi profesional adalah a civilian in uniform. Ia berseragam, tapi jiwanya sipil. Artinya untuk menjadi polisi yang baik, terlebih dahulu ia harus menjadi warga negara biasa. Merasakan kebutuhan, perasaan dan ketakutan warganya.

Seorang polisi profesional harus accountable. Artinya seorang personil polisi harus bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya secara pribadi. Di sini letak perbedaannya dengan tentara yang selalu bergerak dalam satuan komando.

Makanya, sekalipun penggunaan kekuatan itu fungsional bagi polisi, tetapi makin kurangnya polisi menggunakan kekuatan apalagi kekerasan, semakin profesionallah dia.

Kini perang polisi bukan lagi menggunakan pistol, tetapi otak. Medan perangnya bukan cuma di internet. Tapi juga di laboratorium atau perpustakaan.

Sementara strategi perangnya bisa problem solving. Bisa community policy yang di dapatkan melalui penelitian sosial di masyarakat.

Polisi harus peka dan memiliki empati terhadap dinamika perubahan masyarakat dan mengawalnya. Bentuknya macam-macam bisa demokrasi, keterbukaan atau egalitarian.

Berat memang amanah yang diemban. Tapi itulah cara yang harus ditempuh agar institusi Polri menjadi lebih baik dan modern.

Mewujudkannya tidak main-main. Tidak sembarang polisi yang sanggup melakukannya, kecuali polisi berjiwa sipil.

Dirgahayu Kepolisian Negara Republik Indonesia.