Dalam seketika kita biasa sering merasa benar, tanpa melakukan pengecekan dan berpikir jernih. Bahkan kita lebih suka membuat klaim-klaim kebenaran personal sepihak.
Ceritanya begini. Baru-baru ini saya datang ke sebuah gerai tempat makan cepat saji. Menghadiri undangan keluarga untuk acara sederhana ulang tahunnya. Acara makan-makan dan gratis. Saya tentu menghadirinya bersama keluarga.
Berempat saya datang ke gerai makanan tersebut. Senja yang kemerahan sudah mulai menghilang sesaat sebelum saya masuk gerai. Sayup adzan terdengar. Buru-buru saya mengambil sarung shalat dan membawa serta. Berharap, saya shalat maghrib di gerai nantinya.
Tapi sebelum menunaikannya, saya mampir dulu di meja yang telah dipesan sebelumnya. Ember berisi potongan ayam berbalut tepung yang terlihat sangat renyah dan nasi gundukan-gundukan kecil berbungkus kertas, semua telah tersaji di atas meja. Semuanya terlihat sangat pas di mata kanan-kiri saya, tapi tentu kurang begitu pas ketika dibandingkan dengan mata pencaharian saya.
Saya memilih untuk mengamankan dulu sarung yang saya bawa. Bukan karena keimanan saya yang sangat kuat atas godaan di meja makan, tapi lebih tepatnya untuk bisa makan secepatnya. Atau bukan karena saya sering shalat tepat waktu, bukan. Tapi rentang waktu shalat yang singkat, karena kalau waktu shalat lain saya sudah tentu terbiasa menundanya.
Saya kemudian bertanya pada karyawan gerai di mana lokasi mushalla. Karyawan itu menggelengkan kepala.
“Tidak ada mushalla di sini. Adaji tempat tapi tidak ada sajadahnya,”katanya.
Saya kembali dan tentu agak kecewa. Bukan sedih karena tidak bisa shalat secepatnya, tapi karena merasa tidak terlayani saja. Menggerutu dalam hati.
“Kok tidak ada mushalla dan tempat shalat di tempat semewah ini. Memang”. Kemudian saya duduk melihat sekeliling.
Saya teringat dengan sebuah pelatihan yang pernah saya hadiri (bukan saya ikuti karena hanya bertugas mendokumentasikan kegiatan) beberapa tahun lalu. Pelatihan dengan konten keagamaan tapi dibalut dengan konsep modern dan kecanggihan desain acara yang mengandalkan visualisasi.
Saya ingat bagaimana, komporisasi penyelenggara pelatihan yang menampilkan slide gambar-gambar posisi mushalla. Menurut penjelasan, bahwa tidak selayaknya mushalla di tempatkan di sudut belakang area komplek perkantoran. Seharusnya mushalla ditempatkan di depan area, berdiri megah dan kokoh bukan bangunan kecil yang tersempil di sudut bangunan.
Maka kemudian, penyelenggara kegiatan menampilkan desain tempat ibadah yang akan dibangunnya di pusat Ibu Kota Negara, megah sekali dengan bangunan menara-menara menjulang.
Beberapa saat kemudian, digelar kain sebagai tempat sedekah pembangunan katanya. Satu persatu peserta meletakkan seikhlasnya, tapi ada juga yang menggerutu.
“Tadi sudah, sekarang ada lagi,”katanya.
Waktu berlalu dan sampai sekarang saya tidak pernah dengan kabar via media atau apa soal bangunan megah tempat ibadah yang dipresentasikan dengan indah itu.
Ternyata komporisasi beberapa tahun itu adalah gejala yang akhir-akhir ini kita saksikan bersama, tentang mencuatnya simbolisasi keagamaan. Kasus Pilkada DKI 2017 adalah bukti riil bagaimana agama digunakan sebagai salah satu alat paling efektif untuk membungkus kepentingan-kepentingan pribadi.
Ternyata simbolisasi itu juga menerpa saya, sesaat pasca sang karyawan gerai memberi tahu bahwa tidak ada mushalla di tempat kerjanya.
Duduk saya merenungi. Ternyata saya yang terlalu terobsesi, bahwa keyakinan, ritual keagamaan saya mesti terwakili. Di mana saja dan kapan saja. Ini murni ego pribadi. Memang siapa saya?, menuntut pihak lain untuk melayani ritual yang saya yakini. Ini jelas arogansi pribadi yang terkadang kurang kita sadari.
Dalam konteks ini, hubungan yang terbangun jelas murni antara penjual dan pembeli. Fasilitas yang disediakan juga tak lebih untuk masing-masing posisi : kita memesan makanan dan mereka memenuhi. Keberadaan fasilitas, jelas bertujuan memberikan kepuasan pelanggan atas pelayanan barang dan jasa yang diberikan. Tak lebih.
Kalau pun ada fasilitas tambahan, itu murni atas kerelaan, keikhlasan sang penjual bukan berdasar tuntutan macam-macam. Baik itu yang mengatasnamakan agama atau arogansi mayoritas. Hal ini harus murni kita sadari.
Seperti saya yang tak terlayani untuk bisa menunaikan shalat maghrib, jelas ini kesalahan pribadi. Waktu shalat, pergi makan. Mestinya kan, saya datang ke masjid atau mushalla, bukan malah keluyuran.
Pendisiplinan diri dan pikiran ini penting. Kalau mau shalat, ya pergi ke tempat shalat. Kalau mau makan, ya ke warung makan. Bukan mencampur sekenanya. Bahkan menyalahkan yang lain, kemudian menghujat ketika merasa bahwa ritual keyakinan diri yang selalu diagungkan tidak bisa dilayani. Padahal kita berada pada waktu dan tempat yang salah untuk menunaikan.
Menuduh kiri-kanan, pihak ini tidak pro keyakinan kita. Ini fatal.
Atau memang biasa kita lebih suka menyalahkan, kalau hal itu tidak ada hubungannya dengan diri kita. Kalau ada keterkaitan, tunggu dulu, bikin alibi dan pembenaran macam-macam.
Pernah suatu ketika, ada keluarga, sebut saja si A yang menyalahkan pemerintah soal ketidaktegasan presiden dalam penanganan pandemi.
“Jokowi tidak jelas, tidak tegas. Mestinya semua dilarang, dibatasi orang untuk pergi-pergi karena bisa membahayakan semua. Ini murni kesalahan Jokowi,”omelnya.
Sesaat kemudian salah seorang berujar. “Itu juga si B (adiknya) sering pergi-pergi. Bahaya itu karena ada orang tua di rumah,”katanya.
Dengan sigap si A menimpali. “Beda itu. Dia urus ini-itu, kalau tidak dia urus tidak akan jalan usahanya, dan bla bla bla..”belanya.
Memang. Kita lebih suka menyalahkan daripada mengoreksi diri. Cermin diri memang terkadang lebih buram, dibanding cermin liyan. Dan terkadang pula kita terlalu ribut, sehingga suara teguran itu nyaris tak terdengar.
Oh iya, terus obsesi saya untuk shalat maghrib secepatnya karena takut kehabisan makanan tadi, jadi terlaksana tau tidak? Untuk jawabannya, silahkan terka, hehehe.