Anak yang Disandera Waktu

Foto: pepnews.com

Waktu adalah sumber daya tak terbarukan yang paling berharga bagi kehidupan. Manusia lahir dan mati pada waktu tertentu. Jeda antara waktu lahir dan mati disebut kehidupan.

Kehidupan adalah sekarang bukan masa lalu atau masa depan. Semua orang tak terkecuali anak-anak dalam hidupnya bergelut dengan waktu. Waktu paling berharga di sepanjang kehidupan manusia adalah waktu sekarang.

Waktu sekarang merupakan hadiah paling berharga dari sang pemberi kehidupan. Menyia-nyiakan waktu sekarang sama artinya dengan menyia-nyiakan hidup.

Dalam proses pembelajaran di sekolah, waktu diatur oleh apa yang disebut jadwal pelajaran. Jeda waktu disediakan bagi guru dan murid untuk berinteraksi dan bersosialisasi melalui media disebut mata pelajaran.

Seorang guru yang cerdas akan memberikan makna pada setiap detik waktu yang disediakan selama proses pembelajaran. Proses pembelajaran menjadi berarti atau sia-sia tergantung bagaimana guru mengelola waktu itu.

Dalam pernyataan bijak, “Semua indah pada waktunya”, Waktu yang dimaksud dalam pernyataan itu adalah waktu sekarang. Saat ini. Bukan kemarin. Apalagi esok. Anak-anak, guru, orang tua atau siapapun tidak dapat membebaskan diri dari waktu sekarang.

Semua manusia hanya bisa mengada pada waktu sekarang. tidak ada yang bisa mengada, berada, dan melakukan suatu kegiatan di masa lampau ataupun di masa depan.

Percaya atau tidak, yang abadi adalah saat ini. Hidup sejati adalah hidup di masa sekarang.

Pemaknaan waktu oleh anak-anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak umumnya sulit membedakan batas-batas antara masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.

Anak-anak senantiasa fokus pada waktu sekarang. Anak-anak menjalani hidup, melakukan segala aktivitas, dengan totalitas pada saat sekarang.

Sedangkan orang dewasa melakukan kegiatannya cenderung demi dan untuk masa depan.

Akibat perbedaan pemahaman ini, waktu yang disediakan untuk proses pembelajaran di sekolah kadang menjadi tidak efektif dan kurang produktif. Bahkan, sering menimbulkan konflik domestik dalam kelas.

Murid menyenangi dan menikmati apa yang mereka lakukan sekarang. Sedangkan guru dan orang tua berpikir, berbicara, serta beraktivitas untuk esok atau masa depan.

Contoh, ketika anak-anak sedang asyik bermain musik, bernyanyi gembira di sela-sela waktu istirahat di sekolah, tiba-tiba guru mendekat dan berteriak, “Hai! anak-anak, kenapa kalian hanya bermain-main saja? Manfaatkan waktu belajar. Tidak lama lagi kalian ujian. Nanti kalian tidak naik kelas.”

Sang guru dengan percaya diri menasehati anak-anak. Serasa Ia baru saja melakukan hal paling bijaksana kepada murid-muridnya. Padahal sebenarnya, apa yang dikatakan guru itu dapat “membunuh” kegembiraan anak.

Kegembiraan bagi anak-anak adalah salah satu syarat supaya mereka dapat belajar dengan penuh semangat.

Pada saat anak-anak senang melakukan aktivitas, mereka tidak memikirkan masa depan. Mereka tidak memikirkan ujian. Yang mereka tahu adalah berekspresi, menyanyi dan bermain musik.

Kalau kita kaji lebih dalam, sebenarnya mereka pun sedang belajar. Mereka mengembangkan dan mengasah kecerdasan musikal mereka.

Dengan melarang anak-anak bermain musik pada jam pelajaran istirahat dan menyuruh mereka belajar untuk ujian. Guru sejatinya sedang “merampas” waktu sekarang yang berharga milik mereka.

Perbedaan mempersepsi waktu antara guru dan anak menyebabkan banyak kegiatan di sekolah berjalan timpang. Kegiatan belajar hanya dirancang dan dilaksanakan untuk menuruti kemauan gurunya.

Anak-anak yang antusias, kreatif memanfaatkan waktu senggangnya dengan bermusik dan bernyanyi misalnya dianggap tidak bermanfaat. Bahkan, dapat menggagalkan ujian.

Anak-anak yang sedang seru berdebat tentang keistimewaan gadget model terbaru dianggap membuang-buang waktu.

Anak-anak yang sedang berselancar di Internet mencari informasi pemain sepak bola terbaik di dunia dilarang karena dianggap dapat menghambat pencapaian target kurikulum.

Singkatnya, guru terlalu mendominasi penggunaan waktu anak demi mencapai
target-target yang sudah ditetapkan.

Semua anak didorong untuk mencapai target yang sama dalam tenggak waktu yang sama pula. Ini jelas tidak manusiawi, melanggar hak asasi anak.

Setiap anak memiliki masa “inkubasi” masing-masing. Anak bayi yang lahir belum genap 9 bulan dalam kandungan disebut prematur. Ada pula yang lahir setelah lebih 9 bulan di kandungan.

Ada anak usia 1 tahun yang sudah dapat berbicara, tapi ada juga yang usianya sudah 3 tahun belum bisa berbicara.

Ada anak berumur 3 tahun sudah dapat membaca, tapi ada juga yang berumur 5 tahun masih harus belajar tertatih-tatih untuk mengeja tulisan.

Anak sebaiknya jangan pernah dipaksa untuk belajar. Mestinya, ia dipersilakan mengikuti pelajaran secara sukarela berapa pun usianya.

Hanya belajar yang dilakukan secara sukarela yang bernilai.

Anak akan mengenal dirinya sendiri apabila mereka telah siap belajar. Anak hanya akan mencapai kebahagiaan jika mereka merasa bebas.

Sebab, banyak ketidakbahagiaan ditimbulkan oleh adanya rasa permusuhan dalam diri yang tercipta dalam tekanan eksternal.

Guru dan orang tua tidak harus memaksa anak untuk bisa ini atau bisa itu dalam waktu tertentu.
Yang harus dilakukan mereka adalah mempercayai dan mengetahui bahwa setiap anak memiliki masanya masing-masing.

Tidak ada gunanya memberikan sebanyak-banyaknya pelajaran jika akhirnya tidak sesuai dengan masa pertumbuhan anak. Hal itu hanya akan membuat anak tertekan.

Alih-alih potensi tumbuh dengan baik, anak malah tumbuh dengan penuh tekanan.

Ketika guru memberikan pertanyaan kepada seorang murid, berikanlah mereka jeda waktu yang cukup agar bisa berpikir dan menyusun jawabannya.

Jangan mudah mengatakan murid bodoh hanya karena dia memerlukan waktu lebih lama dibandingkan waktu yang diperlukan murid lain.

Jangan memvonis seorang murid tinggal kelas karena hanya nilai Matematika tidak memenuhi ketentuan dan ketuntasan kompetensi minimum (KKM) yang ditetapkan secara sepihak oleh gurunya.

Masing-masing murid memiliki masanya sendiri. Layani mereka sesuai dengan iramanya, kecerdasannya, dan gaya belajarnya.

Mereka tidak bisa disamaratakan.