Saya terlahir dari keluarga pedagang. Pedagang Kain tepatnya. Kakek dan paman saya dari pihak ibu adalah pedagang-pedagang ulet dan pekerja keras. Mereka berpeluh di pasar seharian. Tak kenal lelah. Tak kenal musim. Mereka menjalankan aktivitas dengan hati senang dan mensyukurinya.
Saya sering diajak membantu di pasar untuk membuka lapak sebelum berangkat sekolah. Bahkan pada Hari minggu atau hari libur saya turut menemani menjual. Seperti umumnya kehidupan pasar, aktivitas dimulai usai salat Shubuh dan berakhir saat matahari terbenam. Begitu pun kami.
Tak cuma berdiam di pasar Wonomulyo. Kami juga menggelar dagangan diberbagai pasar. Di Pasar Mapilli, Campalagian, Pelitakan, hingga Polewali. Meski lapak utama tetap di Pasar Sentral Wonomulyo Polman.
Seperti cerita diatas, dagangnya kain. Kain jualannya macam-macam, ada kain meteran seperti Polyester, Teteron serta Mori. Ada juga baju. Baju kaos, Seragam sekolah dan baju renda untuk emak-emak. Selain kain dan baju di jual juga sarung. Jenisnya pun beragam. Dari sarung batik hingga sarung tenung.
Saya ingat, setiap dua minggu sekali paman berangkat ke Makassar untuk berbelanja barang. Kalau ingin berbelanja barang, toko langganannya ada di Pasar Sentral dan Pasar Butung di Makassar. Namanya Toko 16 dan Toko 19. Kedua toko ini sering menjadi tujuan berbelanja para pedagang kain dan sarung dari luar daerah di Kota Makassar.
Toko 16 dan 19 adalah toko kain yang besar. Karyawannya banyak. Pemiliknya Orang Tionghoa, saya lupa namanya. Tapi keduanya biasa di panggil touke. Saya dengar keduanya masih memiliki hubungan darah. Paman biasa juga mengajak saya berbelanja ke sana.
Saya perhatikan semua karyawan toko giat bekerja terutama saat menyiapkan pesanan pembeli. Sering mereka berteriak menyebutkan jenis dan jumlah barang pesanan kemudian ditimpali oleh yang lain. Mereka bersahutan. Karenanya suasana toko terdengar riuh dan ramai.
Sebaliknya berbeda dengan touke mereka. Meski murah senyum para touke itu jarang ngomong. Pandangan mereka lebih banyak tertuju mengamati dan mengawasi para karyawannya.
Kata paman saya, Orang Tionghoa teliti. Mereka hanya mau ngomong kalo perlu. Itu pun yang berhubungan dengan pekerjaan. Prinsip mereka, “shao shuo, duo zuo” (banyak kerja sedikit bicara).
Acuannya pepatah, “Yi cun guangyin, yi cun jin. Cun jin an mai cun guangyin”. Kira-kira artinya, waktu sesaat bagai sepotong emas. Tapi sepotong emas tidak bisa membeli waktu sesaat.
Begitu cerita paman saya. Ia memang akrab dengan touke-touke itu karena relasi dagang yang sudah lama terjalin sejak kakek saya dengan orang tua mereka.
Ada dua peristiwa yang tak bisa saya lupa dari keduanya. Jika lebaran tiba mereka suka membagikan Sirop Markisa dan sekaleng biskuit merk “Khong Guan”. Begitu pula saat tahun baru, mereka sering membagikan kalender.
Salah satu jenis kalender yang dibagikan adalah kalender sobek. Kalender yang isinya lembaran kertas bertuliskan hari, tanggal, bulan dan tahun berjalan. Bentuknya tak terlalu besar, ukurannya sebesar dua telapak tangan orang dewasa.
Saat kanak-kanak, saya selalu merasa aneh dan suka terkagum-kagum melihat kalender itu, karena kalendernya harus selalu di sobek setiap hari. Gambarnya juga lucu. Begitu pula lembaran kertasnya yang berwarna warni selalu mengundang daya tarik. Sering ingin memilikinya. Sayang karena jumlah terbatas. Pamanlah yang memilikinya.
Di Tahun baru ini kata orang, baiknya ada resolusi. Dan resolusi saya yang pertama di tahun 2022 sebenarnya cukup sederhana. Memiliki kalender sobek.
Saya pikir, memuaskan beberapa impian masa kecil yang belum kesampaian, baik juga untuk kesehatan jiwa.