Polemik Aturan Pengeras Suara dan Keserakahan Membenci

Gambar: Geotimes.id

Tentu saja dari media. Tersiar bagaimana buntut dari hiruk-pikuk soal aturan pengeras suara di masjid dan musholla. Terus bergulir dan kemudian ada soal yang dianggap ‘membandingkan’, padahal hanya ‘bayangkan’. Berlanjut, akhirnya ada lapor-melapor. Kemudian tersiar, bahwa berdasarkan pernyataan pelapor kepada penegak hukum, tidak ada unsur ‘penghinaan’. Selesai?, tentu saja belum akan.

Saya ingat. Beberapa hari lalu saya sedang duduk-duduk di sebuah Warkop. Di sebelah saya, ada 2 orang sedang bercengkerama – meskipun pada mulanya mereka sedang asyik menikmati kopi dan udutnya. Saya asyik dengan HP. Datang seorang menyambangi mereka berdua.

Pelan tapi pasti, apa yang awalnya saya sebut bercengkerama ternyata menjadi lebih intens tema bicara. Tentu karena kehadiran 1 orang yang nimbrung belakangan. Tema ringan perbincangan yang diselingi seruputan kopi dan isapan udut berubah – menjurus pada membincang seseorang – seorang tokoh agama.

Meskipun jarak duduk saya tidak sampai 2 meteran, tapi saya kurang tahu pasti awal pembuka katanya. Yang pasti cerita tentang bagaimana pemerintah menyikapi kasus tokoh agama. Kemudian berlanjut bahwa ada sekelompok yang kontra – yang dianggap benar versinya – menghardik, mencela juga kepada tokoh agama – tentu yang dianggap tidak baik baginya. Karena, pasca itu dihamburi berbagai argumen menyudutkan – bahkan kebencian juga ditaburkan, tidak sekali bahkan berulang kali. Tak lama – yang datang belakangan tadi – kemudian memutar video ‘tokohnya’. Dengan berbagai argumen, celetukan, tentu dia mencoba menguatkan argumen tokoh di HPnya – itu. Kemudian, ia terus menambahkan berbagai argumen tokoh yang senada, sebaris dengan versinya, terus…

2 orang di samping saya tadi kemudian merespon, menanggapi – tentu dengan semangat – seperti yang diinginkan ‘orang yang belakangan hadir’ tadi. Saya tidak tahu apakah tipikalnya atau hanya untuk menyenangkan kawan bercengkeramanya. Yang pasti mereka berdua sudah ‘tahu’ dari ‘orang yang belakangan hadir’ tentang informasi – bahwa ada tokoh agama yang memiliki argumen ‘bersebelahan’ – dengan pemerintah – bahkan dengan tokoh agama lain juga.

Saya diam sembari merekam tema yang mereka perbincangkan. Saya merasa waktu itu, sebetulnya perbincangan itu juga ‘diluncurkan’ untuk saya. Saya tahan. Membiarkan telinga ini ‘memerah sebenarnya’.
Selang sehari, ‘heboh’ tentang pernyataan Menag tentang ‘membandingkan’. Saya dapati lagi orang yang sama : menceritakan ulang tentu tentang versinya. Intinya sama, ‘untuk membencikan’ orang.


Menyebarkan kebencian. Dengan menumpuk berbagai argumen sejurus. Saya berpikir : berarti ‘orang ini’ mengumpulkan berbagai file argumen kebencian sebanyak yang dia bisa. Kemudian menghambur dan menyemburkan – kepada siapa saja – yang dianggap relevan, bahkan kapan dan di mana pun.

Orang ini – memang selalu datang belakangan, merusak keasyikan obrolan santai – seperti cengkerama 2 orang yang lagi ngopi tadi. Seperti halnya merusak tatanan sosial yang ada, yang tenteram sebelumnya. Untuk apa? Mungkin hanya yang bersangkutan yang tahu pasti motifnya.

Saya hanya kasihan. Sebenarnya mereka ini ‘korban’ atas industri kebencian yang kemaruk. Serakah, karena mereka membabi buta – mengumpulkan berbagai kebencian – menumpukkan dalam folder benak dan hatinya. Dengan hamburan kebencian yang dilontarkan, jelas ia tidak mengimbangi dengan argumen lain – pendapat lain dianggap tak relevan, bahkan tak ada, karena tidak pernah ia utarakan.


Seperti halnya tentang aturan pengeras suara masjid dan mushalla serta ‘perbandingan’ yang ramai dibicarakan belakangan. Menurut saya ini bukan soal relevan atau tidaknya aturan, atau siapa yang dianggap ‘membandingkan’. Ini soal bagaimana kita sedang menghadapi kebencian yang serakah, merambah ke berbagai macam sendi kehidupan. Ini soal mental individual.

Soal aturan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla, kalau itu tujuan bersama untuk kebaikan, kemaslahatan memang sudah selayaknya dilaksanakan. Saya mengutip Bahan Kajian Statemen Menag – Menag Tidak Melakukan Pembandingan -Transkrip Statemen – yang tersebar di berbagai media sosial.

“Soal aturan azan, kita sudah terbitkan surat edaran pengaturan. Kita tidak melarang masjid-musala menggunakan Toa, tidak. Silakan. Karena kita tahu itu bagian dari syiar agama Islam. Tetapi ini harus diatur, tentu saja. Diatur bagaimana volume speaker, toanya tidak boleh kencang-kencang, 100 dB maksimal. Diatur kapan mereka bisa mulai menggunakan speaker itu, sebelum azan dan setelah azan, bagaimana menggunakan speaker di dalam dan seterusnya. Tidak ada pelarangan. Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis. Meningkatkan manfaat dan mengurangi mafsadat. Jadi menambah manfaat dan mengurangi ketidakmanfaatan”.

Dalam transkip ini jelas pemanfaatan aturan : untuk keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bagi saya, hanya kelompok tertentu yang mencoba memanfaatkan : mencari celah dari keharmonisan bangsa yang selama ini rajut, mencari-cari sedikit kekusutan lalu menariknya ke mana saja yang ia suka. Seperti saya contohkan ‘orang yang belakangan hadir’ tadi, mengait-ngaitkan, menyambung-nyambungkan.

Bukan benci dengan ‘orang’ yang bersangkutan. Bukan. Tapi mari kita sepakat, bahwa keserakahan membenci memang perbuatan keji yang arogan nan rakus, yang dibangun atas dasar ‘ideologi’ merasa berhak mutlak atas kebenaran – ‘benar sendiri dan yang lain salah’. Ini mencederai tatanan kehidupan, karena berarti meniadakan ‘liyan’ dan tidak toleran.

Itu yang saya tidak sepakat dan sudah sewajarnya harus dilawan.