CAHYA PURNAMA

Foto : Google.com

Lima puluh enam tahun umurnya. Malam ini, rumahnya di ujung Jakarta mati lampu lagi.

Pemadaman bergillr bagi Purnama itu bahagia bergilir. Saat lampu mati, ruang keluarganya jadi hidup kembali.

Awalnya, si Adik manyun karena playstation tidak bisa nyala, Si Kakak misuh-misuh kepanasan AC kamar mati, Si Adik stres tanpa koneksi internet, Si Kakak pusing terlewat
nonton American ldol.

Tapi malam ini, mereka main ludo di ruang keluarga ditemani cahaya tawa. Seperti lima belas tahun lalu, saat belum ada TV kabel, saat belum ada dunia maya, saat telepon masih pake kabel, saat si Kakak rambutnya masih mau dikepang dua, saat si Adik tidak gengsi untuk dicium pipinya.

“lya Ma, aku mau serius sama yang ini…” Kakak bercerita tentang Aldo, pacarnya yang bahkan belum pernah dikenalkan pada purnama.

“Aku boleh ambil jurusan sastra yah Ma, aku gak suka akuntansi…” Adik bercerita tentang galaunya dia untuk pilihan masa depan.

“Di kantor bosku galak banget Ma!”

“Lebaran nanti kita mudik yah!”

“Aku kangen almarhum papa,”

“Si Adik udah pernah ciuman!”

“BOHONG MA! Aku kan anak Rohis…”

Dan begitulah, satu demi satu cerita mengalir. Betapa Purnama ingin agar lampu padam selamanya. la rindu saat anak-anaknya menjadikannya berceríta. Saat Iampu menyala, anak-anaknya lebih jujur pada social media. []

Oleh : Tulus Ciptadi Akib (Copywriter)

Sumber : Kumcer Mere Matkadevi. Kompas 2013.