In Memoriam AGH. Sanusi Baco: Orang Tua dari Anak Bernama Franz Thomas

Gambar : Pendais Hak

Pertama, harus saya akui bahwa saya tidak mengenal ulama kharismatik Sulsel AGH Sanusi Baco (Pak Kyai, biar lebih mudah) secara intens, dalam artian setiap hari bergaul akrab dengan beliau.

Saya mengenalnya pertama-tama lewat interaksi dengan rekan-rekan PMII Makassar, yang notabene adalah murid beliau. Dari gaya berpikir dan cara bergaul rekan-rekan PMII inilah, saya bisa mengerti percikan-percikan kisah mereka, tentang AGH. Sanusi Baco. Pendeknya, jika orang menjadi ‘sesuatu’ sesuai ajaran gurunya, kita bisa mendapat gambaran, seperti apa gurunya.

Kedua, saya juga mengenal beliau lewat tulisan-tulisan beliau yang dimuat di surat kabar, maupun ketika hadir dalam seminar atau diskusi di mana beliau menjadi pembicara. Pandangan-pandangannya tentang kebangsaan, tentang kemanusiaan, betul-betul jernih. Menurut saya, beliau mampu merangkul keberagaman sebagai kekayaan bangsa, tanpa sedikitpun mengorbankan apa yang beliau yakini secara pribadi.

Indonesia  mengenal istilah toleransi dalam kehidupan beragama yang beragam. Kalau toleransi berarti mengijinkan keberadaan pihak lain yang berbeda dan menerimanya sebagai sebuah keniscayaan, Pak Kyai Sanusi kiranya telah melampaui itu. Bukan dalam tataran sekedar mengijinkan kehadiran pihak lain yang berbeda, tapi menerima perbedaan sebagai sebuah kekayaan bersama, sehingga pihak lain bukan sekedar ditolerir keberadaannya, tapi dirangkul kehadirannya, serta memperlakukan pihak lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan.  Tanpa mengorbankan sedikitpun apa yang beliau imani. Jadi, bukan toleransi kompromistis yang kadang-kadang kebablasan seperti acap kita lihat, namun jarang kita akui karena takut dibilang intoleran atau fanatik sektarian.

Saya kira, inilah yang dimaksud oleh mendiang Ishak Ngeljaratan (salah satu guru kebangsaan dan kemanusiaan dari Sulsel pula) sebagai hidup bersesama. Bukan sekedar mengijinkan keberadaan yang lain, tapi menerima dan merangkul pihak lain sebagai sesama.

Maka, ‘berdialog’ dengan pemikiran-pemikiran beliau, berarti mendialogkan sudut pandang yang berbeda akan nilai kemanusiaan dan kebangsaan yang sama. Mencoba menemukan titik pijak yang sama ketika kita berjalan sebagai sesama anak bangsa.

Saya tidak akan menceritakan apa yang saya pahami tentang keislaman beliau, atau apa ajaran Islam yang saya pahami dari percikan-percikan pengalaman bersama beliau. Saya tidak akan paham secara utuh. Tapi, saya mau cerita sesuatu; anggaplah menjadi poin ketiga dari tulisan ini.

Saya pernah diopname di rumah sakit; cukup berat juga penyakitnya waktu itu. Kebetulan, satu ruangan perawatan dengan salah satu rekan PMII yang juga sakit. Suatu hari, rekan PMII yang sakit ini dibesuk oleh Pak Kyai Sanusi dan rombongan. Ada juga rekan-rekan PMII di rombongan itu. Mungkin dari mereka, Pak Kyai tahu kalau ada anak PMKRI dirawat di ruang yang sama. Sebelum pulang, beliau menyempatkan diri membesuk saya, tanya ini itu, memberikan nasihat, mendoakan, mengusap kepalaku sebelum pulang. Salah satu rekan PMII yang hadir bercanda ke saya,”Kau ini beruntung sekali. Cuma tidur-tidur saja, dapat yang begitu dari Kyai. Sementara kami ini biar usaha keras, belum tentu dapat.” Candaan khas gaya anak PMII.

Waktu saya keluar dari rumah sakit, ternyata biaya perawatan sudah lunas. Digabung dengan biaya perawatan rekan PMII yang juga keluar di hari yang sama, cuma beda jam. Yang melunasi, ya Pak Kyai. Padahal kenal saja tidak.

Beberapa waktu kemudian, saat bertugas di UGD, saya kembali bertemu beliau yang datang menjenguk pasien.  Saya bergegas menemui beliau, salaman, mencium tangannya, mengucapkan terima kasih yang belum sempat tersampaikan. Beliau sekali lagi memberi nasihat, khas orangtua kepada anak.

Satu hal yang selalu saya ingat dari peristiwa pertemuan di UGD itu: salah seorang senior pembimbing bertanya: ”Dari mana kamu kenal beliau? Apamu itu kah?” Saya jawab: ”Orangtuaku, Kak.” Dia pasang tampang bingung, dan saya segera pergi menghindari pertanyaan susulan yang mungkin timbul, saat dia sadar bahwa betapa anehnya seorang Kyai bernama Sanusi Baco bisa punya anak bernama Franz Thomas. 😀

Saya tidak pernah lagi bertemu secara khusus dengan Pak Kyai. Tapi pertemuan singkat dengan beliau di atas, cukup untuk membuat saya mengagumi beliau lebih dari sebelumnya.

Mengagumi bahwa Kyai yang jadi ulama sekaligus guru bagi rekan-rekan saya di PMII, menghidupi imannya dengan caranya sendiri yang akhirnya juga saya rasakan, bukan cuma berdasarkan cerita atau mencermati pemikirannya.

Itulah wajah keulamaan beliau, menurut  saya. Wajah seperti itulah yang akan selalu saya kenang, sembari berharap wajah-wajah serupa akan semakin banyak bermunculan di Indonesia, apapun latar belakang keagamaannya. Indonesia butuh lebih banyak lagi orang seperti beliau.

Mendapatkan kabar bahwa Pak Kyai Sanusi berpulang, saya ikut merasa kehilangan. Kita kehilangan satu lagi teladan hidup berbangsa. Kehilangan tokoh panutan bagaimana memperjuangkan hidup bersesama dengan orang lain. Pastilah rekan-rekan PMII, Ansor, serta warga Nahdliyyin Sulsel  merasakan dukacita yang dalam. Saya turut dalam dukacita yang sama, sembari berdoa agar kita semua dikuatkan dengan teladan yang beliau wariskan.

Tuhan pasti memberikan yang terbaik untuk Pak Kyai Sanusi. Menuntun beliau pulang ke Penciptanya, dengan terang cahayaNya yang kudus.

Selamat jalan, Pak Kyai! Beristirahatlah dalam kedamaian abadi.

Tana Toraja, 15 Mei 2021