RINDU UNTUK RASUL

Gambar : Google.com

Setelah saya membacakan hadis tentang keharusan mencintai Rasulullah saw., seorang pemuda bertanya, “Saya ingin mencintai Nabi saw., tetapi saya tidak tahu bagaimana caranya. Kalau saya merindukan seorang gadis, saya membayangkan

wajahnya: bibirnya, tubuhnya, tangannya, atau kakinya. Seperti apakah saya harus membayangkan Nabi saw?” Pertanyaan ini menunjukkan dua hal.

Pertama, kemampuan kita mencintai terbatas hanya pada hal-hal material, konkret, dapat diraba, dapat dilihat. Keindahan hanya terdapat pada penampakan lahiriah. Kita suka gunung karena kehijauan pepohonannya dan kesejukan udaranya; bukan karena ketenangan dan misterinya. Kita senang buku hanya karena jenis kertas dan mutu cetaknya, bukan karena kearifan dan kecendekiaan isi tulisannya.

Menurut Alquran kebanyakan kita memang terpesona pada bentuk-bentuk luar saja: Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka alpa dari kehidupan akhirat (QS 30:7).

Dalam beragama kita mengukur kesalihan dari gambaran lahiriah seperti pakaian dan gerak salat. Dalam berdoa kita hanya memohon kekayaan yang luas, umur panjang, atau anak-anak (buah) yang banyak.

Dalam berpolitik kita hanya mengutamakan pestanya ketimbang demokrasinya, pemilihannya ketimbang umumnya, dewan perwakilannya ketimbang rakyatnya.

Dalam bercinta kita mendahulukan hubungan biologis dan mengesampingkan hubungan psikologis. Mungkin karena terpenjara oleh hal-hal sensual, kita kehilangan kepekaan pada stimulus ruhaniah. Kita tak mampu lagi mendengar suara batin kita, apalagi jeritan hati orang lain. Kita tidak arif lagi menangkap isyarat- isyarat halus yang diungkapkan dalam eufemisme.

Ketika mendengar bahwa Nabi saw. mencintai tiga perkara perempuan, parfum dan salat – kita sibuk memperbincangkan pernikahan badani, keharuman tubuh, dan fikih salat. Ibn ‘Arabî mengajarkan pada kita bahwa ketiga kata itu mengungkapkan secara simbolis pengalaman ruhaniah yang agung.

Kedua, cinta sensual menunjukkan tahap perkembangan kejiwaan yang paling rendah. Jika Anda hanya dapat melakukan salat yang khusyuk dengan mencitrakan Tuhan dalam benak anda, atau hanya mencintai Nabi saw, dangan membayangkan ketampanan wajahnya, Anda belum bergerak dari tahap anak-anak – bahkan boleh jadi masih merangkak pada tingkat hewani.

Cinta sensual, yang lahir karena atraksi fisik, bukan keutamaan tetapi penyakit, bukan love, tetapi lust. Jalaluddin Rumi berkata: ” Isyq nabud inkeh dar mardum bud, in fasad-e Wurdan-e gandum bud — Bukanlah cinta yang terdapat pada orang kebanyakan, tetapi kerusakan karena makan gandum.

Filosof Yunani menjelaskan tiga tahap cinta: eros, philos, dan agape. Cinta sensual adalah eros. Cinta ini ditandai dengan keinginan memiliki, menuntut, merengek, mendesak. Eros ingin mengambil, bukan memberi. Orang Romawi menggambarkannya sebagai Cupid, yang melepaskan anak panah beracun ke jantung manusia.

Betapa pun rendahnya, eros menjauhkan kita sejengkal dari ego kita. Ia juga memberikan kehangatan, kerinduan, dan keinginan untuk bergabung dan bersama. Dengan segala keburukannya, eros mengantarkan sebagian di antara kita pada cinta yang lebih luhur, philos dan agape.

Philos adalah cinta yang tumbuh dari persahabatan mendalam. Kita sudah bergerak jauh, masuk ke dalam “kami” dan “kita.” Kita bukan hanya menuntut, tetapi berbagi. Kita berempati dengan semua orang. Keindahan tak lagi berada dalam dataran material, tetapi immaterial. Yang menarik kita bukan lagi individu, tetapi hubungan sosial, bukan senyuman tetapi keakraban, bukan pemberian tapi kebersamaan. Agape adalah tahap paling tinggi.

Cinta ini ditandai dengan perhatian yang aktif pada orang yang kita cintai, keinginan untuk diterima di sisinya, kedambaan untuk memberikan segalanya tanpa syarat pada sang kekasih.

Agape adalah cinta spiritual, yang sudah jauh menyelam dari daratan badaniah ke kedalaman ruhaniah. Dalam bahasa Rûmi, di sini kita mencari hati dan meninggalkan tulang.

Pada tingkat manakah mau kita letakkan kecintaan kita kepada Rasulullah saw.? Tentu saja, tidak pada tingkat erotis. Mana mungkin kecintaan kita kepada beliau kita samakan dengan kecintaan kita kepada seorang gadis? Untuk cintai Nabi saw, yang harus kita bayangkan bukan citra fisiknya, tatapi keagungan kepribadiannya.

Pertama-tama, gerakkanlah diri kita dari eros ke philos. Belajarlah menggabungkan diri kita secara rohaniah dengan Rasulullah saw., para nabi, dan orang-orang salih.

Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, maka ia akan bersama orang-orang yang telah Allah berikan kenikmatan kepada mereka, yakni para nabi, orang-orang benar, syuhada, dan orang-orang salih. Alangkah bagusnya bergabung bersama mereka (QS 4:69).

Akhirnya, perhatikan bagaimana Alquran menggambarkan Nabi saw. kepada kita: Telah datang kepadamu seorang Rasul dari antara kamu. Berat baginya apa yang kamu derita,
sangat ingin agar kamu mendapat kebahagiaan. Ia sangat pengasih dan penyayang kepada orang-orang yang beriman (QS 9:128).

Inilah Nabi yang membasahi janggutnya dengan air matanya karena memikirkan derita umat sepeninggalnya, yang merebahkan dirinya di atas tanah dan tidak mengangkatnya sebelum Allah mengizinkannya untuk memberikan syafaat kepada umatnya, yang suka dukanya terpaut dengan umat yang dipimpinnya.

Ketika Iqbal, sang filosof, sakit, ia berdoa , ” Tuhanku, sekiranya Engkau mengadili aku pada hari kiamat, jangan dampingkan aku dengan Nabi al-Mushthafa. Aku mengaku sebagai umatnya, padahal hidupku bergelimang dosa.” Inilah cinta yang luhur untuk Rasulullah saw. []

Oleh : Jalaluddin Rakhmat

Sumber : Reformasi Sufistik. Pustaka Hidayah 1998.