Setiap peringatan hari Santri tanggal 22 Oktober, biasanya dirangkaikan dengan pembacaan Shalawat Nabi. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung sampai semilyar shalawat dibaca.
Mulai dari pondok pesantren, surau, masjid maupun di rumah-rumah penduduk lantunannya bergema kemana-kemana dari Sabang sampai Merauke.
Di kalangan kaum santri ada keyakinan bahwa dengan membaca shalawat akan memberi banyak keberkahan. Berkah kebaikan bagi bangsa. Berkah kebaikan bersama.
Sekaligus berkah kebaikan bagi pribadi pembacanya.
Bagi yang membacanya hati akan tenang, jernih pikiran, lembut jiwa dan perkataanya serta tidak cepat marah. Semuanya didasari oleh pertimbangan yang matang penuh perhitungan.
Kalau pun santri harus marah semuanya sudah disaring. Tak ada umpatan, hinaan, caci maki, atau sok tahu dan sok benar sendiri.
Kalau santri berbeda pendapat, perbedaan itu dilihat secara jernih tanpa prasangka dan tuduhan keji tanpa didasari oleh bukti yang kuat.
Santri bershalawat juga karena mengharap syafaat dan cinta nabi.
Santri paham bershalawat saja tidak menjamin akan mendapat kecintaan nabi, bagaimana bisa mendapat cinta nabi dengan rajin bershalawat tapi akhlaknya tidak bercermin pada akhlak nabi.
Makanya santri sangat menjaga akhlak maupun adabnya.
Namun ada yang aneh bila kita cermati fenomena di media sosial. Banyak akun santri atau mengaku santri seperti lepas kendali saat menggunakan medsos.
Lihat saja dikolom komentar, Isinya penuh cercaan, hinaan dan makian. Kata-kata yang ditulis membuat kita tak percaya yang nulis itu santri atau bukan.
(Maaf) kata seperti setan, asu, kafir, tai atau sampah. Sampai meme hoax, nyinyir dan plintiran disebar dengan caption atau status penuh kegembiraan karena bisa mengejek menjadi hal yang biasa dan sering ditemukan di media sosial.
Anehnya lagi jika dikritik mereka tersinggung dan balik menyerang. Padahal sesungguhnya yang membuatnya tersinggung belum tentu seperti yang dipikirkannya.
Pokoknya mereka seperti kehilangan akal saja.
Barangkali karena malas membaca. jarang perpikir panjang. Dan beraninya cuma di medsos, teman saya memanggil mereka Santri Kaleng-Kaleng.
Isinya kosong tapi suaranya nyaring sekali.
Saya jadi ingat pesan nabi. Kata beliau yang mulia, akan ada orang yang bangkrut di akhirat. Amal ibadahnya bagus kepada Tuhan. Tetapi kepada sesama manusia suka mencela, memfitnah, mengumpat, dan sebagainya. Mereka itu akan merugi karena amalnya habis terkikis.
Sama seperti pesan seorang kyai di kampung kami. Ciri orang yang beriman adalah mereka yang percaya hari pembalasan.
Mereka tahu kalau segala pikiran, ucapan/tulisan dan perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Makanya menahan diri akan lebih baik
Bagi yang percaya, ini sudah cukup menjadi peringatan.
Sementara bagi yang tidak percaya dia takkan peduli. Ia akan tetap menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsunya.
Padahal santri yang sesungguhnya adalah mereka yang menjalani proses mewarisi bukan hanya informasi ilmu, tetapi juga mewarisi akhlak dan spiritual dari nabi.
Bukan seperti perilaku santri kaleng-kaleng itu.
Selamat Hari Santri.