Ciblon

Ilustrasi : Alena Auralangie

Nyemplung di kubangan air adalah rengekan atau pelipur atas permintaan Wusqo yang belum bisa kami; saya dan mamaknya ijabahkan. Sering?, “ya”.

Kali ini terkabulkan.

Lompat. Gerakkan kaki sekenanya. Tenggelam. Nylurup dengan kepakkan tangan sekuatnya. Tenggelam. Nylurup lagi beberapa saat. Eh, tambah nyungsep. Itu prestasi. Setidaknya menurut Wusqo.

Wusqo akan memanggil-manggil untuk diperhatikan. Kalau terlewatkan akan menceritakan ulang dengan riang. Menambahi cerita bagaimana dia “bisa” berenang, tahan lama ngilem, “tahan nafas di dalam air”.

Otodidak. Berada di tempat renang standar keluarga. Kolam renang di belakang rumah. Rumah Om-nya, hehhe…

Menggunakan air bersih sebanyak itu. Banyak kubik. Sehabis pakai dibuang. Mau digunakan. Diisi lagi. Mubasir? “tidak selalu. Air tanah. Kalau pemanfaatan untuk mandi saja. Ya, mungkin bisa mendekati. Tapi kalau dialokasikan untuk arena belajar berenang, kadar kemubaziran bisa diperbincangkan.

Saya teringat “Tak Ada Kernet di Australia-nya Iqbal Aji Daryono”. Menurutnya, kemampuan berenang merupakan kemampuan standar bagi warga Australia. Hampir setiap area terdapat kolam renang dan selalu padat oleh orang yang pengen mengapung di atas air.

Mau mem-pola-kan kemampuan standar Wusqo seperti orang Australia, bukan. Wusqo Made in lokal. Penuturan di atas? “hanya referensi. Supaya tulisan ini berasa keren. Ada rujukan Internasional. Australia. Padahal intinya pada referensi “renang kampungan”.

Jadi begini. Melihat Wusqo nyebar-nyebur di kolam, mendorong ingatan saya pada puluhan tahun ke belakang. Tepatnya di kampung tercinta, Tanjung Sari.

Ciblon. Itu istilah lokal untuk mandi-mandi di sungai. Biasanya dilakukan anak desa seperti saya saat musim rendengan, banyak hujan. Maklum sungai di Tanjung Sari bukan sungai besar. Sungai desa yang sebahagian airnya dimanfaatkan untuk irigasi sawah di sepanjangnya.

Kalau lagi Ketigo, musim kemarau alirannya kecil. Aktivitas yang yang ada di sungai biasanya ; ngapotas, cari ikan dengan ngubek dan nyembong genangan sungai dengan bahan yang bisa membuat ikan mabuk.

Tempat buang hajat. Ini juga fungsi pokok sungai saat itu. Kalau sekarang, hal ini diceritakan dengan malu-malu. Padahal pada saat itu lazim. Orang ndoprok. Pada aliran kecil sungai dengan menginjak batu yang sedikit nongol di air. Pada saat menulis ini, saya teringat tempat favorit dan batu-batu itu, hehehe…

Nah. Itulah alasan kenapa kami, anak-anak desa seperti saya lebih memilih ciblon pada musim rendeng, sungai lagi banjir. Bisa kita bayangkan kalau ciblon dilakukan saat aliran sungai mulai mengecil.

Diawali janjian beberapa bocah. Waktu favorit tentu pagi pada saat hari libur; biasanya jam 9 pagi karena sebelumnya kami harus ngarit, cari rumput atau cari kayu bakar di ladang. Sore; saat jam istirahat atau selepas pulang sekolah sore.

Blenderan. Kedunge Lek Sun. Arena ciblon favorit. Saya masih ingat bagaimana airnya, terjun melengkung dengan indah. Di ceruk tempat terjun air itulah, saya dan beberapa teman menghabiskan waktu. Sampai menggigil. Sampai merah mata. Sampai biru bibir. Atau sampai kami dipanggil orang tua.

Ciblon bagi kami berisi beberapa hal menyenangkan. Terjun untuk lompat dari ketinggian. Semakin dari ketinggian kita bisa lompat, maka semakin hebat-lah kita pada saat itu. Delian, petak umpet tapi dengan menyelam di air. Lha, dengan ini banyak yang nangis karena kalah.

Oh iya, momen ciblon ini sependek ingatan rame sekali. Hampir semua anak dan remaja kampung tumpah ruah. Bahkan biasa ada juga yang nyuci baju segala. Bak perayaan musim penghujan.

Kemampuan yang akan kita bicarakan saat ciblon yakni ; salto ke depan dan ke belakang. Wah, si Anu, sudah bisa salto ke belakang…itu hebat. Nyilem; ini untuk kemampuan berenang di dalam air. Semakin lama bisa nyelam, semakin kita bisa memenangkan delian.

Kalau berenang? Hampir saya tidak menemukan hal itu sebagai sebuah cerita kebanggaan. Kecuali cerita, bagi yang masih kecil, belum lihai berada di area pinggir-pinggir, yang sudah senior bisa menjelajah kemana saja. Ya, mungkin kemampuan ini merupakan kemampuan standar. Kemampuan biasa-biasa.

Maka sekarang saya agak heran, kalau ada orang yang mengaku tidak bisa berenang. Lha kemana masa kecilnya? Mungkin anak rumahan, mainnya ditempat “bersih dan aman”.

Tapi mungkin saja masa kecilnya, tak “punya” sungai seperti halnya Wusqo, hehehe…