Natalius Pigai dan Rasisnya Kita

Sumber Gambar : Tribunnews.com

Rasisme itu tidak pernah lahir di ruang hampa. Ada latar belakang yang membentuk pikiran seseorang menjadi rasis. Pola didikan masa kecil, lingkungan pergaulan, keyakinan, egoisme, pengetahuan, inferiority complex, kepentingan pragmatis, hingga kekecewaan dan perbedaan pandangan politik.

Membedah soal rasisme, berarti harus juga sampai pada penyebabnya. Rasisme itu ‘jahat sejak dalam pikiran’, maka tidak patut dibela.

Kasus yang menimpa Natalius Pigai (NP) adalah contoh anyar, bagaimana segregasi akibat pandangan politik tidak saja menjadi kemungkinan penyebab, tetapi juga menjadi ‘standing point’ ketika menanggapi kasus tersebut.

Bahwa Andronicus Nababan (AN) sebagai pelaku berseberangan pilihan dan pandangan politik, sudah menjadi pengetahuan umum. AN adalah ‘die hard’ pendukung Jokowi dan pemerintahannya, dan NP konsisten di garis oposan. Itu pilihan.

Tapi, pilihan tersebut menjadi tidak wajar ketika diungkapkan dalam satire rasis hanya karena berbeda pendapat.

Dan semakin tidak wajar ketika menjadi pemicu tanggapan. Sebagai misal, bahwa NP patut diserang secara rasis hanya karena sikap oposannya; bahkan ikut menyerang pula. Lihat saja komentar-komentar di media sosial.

Anehnya, mereka ini rajin berteriak ‘NKRI harga mati’ meski sikapnya adalah ‘NKRI mati harga.’ Ikut mengejek, tapi di saat yang sama menyerukan orang Papua untuk tidak terpengaruh. Absurd level dewa, memang!

Ini seperti yang teriak ‘anti Cina’ tapi rajin berebut angpao saat Imlek. Tidak ada bedanya.

Rasisme di Indonesia bukan barang baru. Hanya, tabu dibicarakan terbuka. Lebih sering ditutupi atas nama norma, bukannya dihilangkan dengan kesadaran penuh.

Mari jujur dengan melihat perilaku sendiri, terutama ketika berada di ruang sosial yang homogen. Apa tidak pernah kita berbicara miring tentang orang di luar kelompok kita, hanya karena perbedaan ras dan bukan karena pendapat atau sikap mereka?

Kembali ke kasus AN-NP.

Betul bahwa jalur hukum harus ditempuh, dan tidak berakhir di permintaan maaf sambil mewek dengan materai 6000. Kita juga ingin melihat hukum dijalankan dengan adil, tanpa muatan kepentingan apapun.

Tapi, tidak cukup sampai di situ. Kita perlu usaha lebih besar untuk menghapus rasisme; untuk menuntaskan integrasi sosial sebagai satu bangsa, dari begitu banyak suku bangsa yang berbeda pembentuk Indonesia.

Bukan hanya pengakuan keberadaan di atas kertas, atau sekedar toleransi minimalis. Harus sampai pada perlakuan yang sama di segala bidang, dan penerimaan yang sama dalam segala hal.

Dan, itu harus dimulai dengan keberanian untuk membicarakan perbedaan-perbedaan yang ada secara terbuka, bukan disimpan di ruang terkunci karena takut pada kemungkinan yang mungkin saja tidak mungkin terjadi. (Saya terkontaminasi kata mungkin ini akibat nonton film Sunda Empire).

Mulailah dengan sederhana: menyadari bahwa perbedaan itu anugerah, bukan kutukan. Tantangan yang bisa dikelola menjadi peluang. Alasan pemersatu, bukannya penyebab perpecahan.

Dan, itu berlaku untuk semua hal yang membedakan setiap orang menjadi unik: termasuk soal agama, bahasa, hingga ciri fisik dan pilihan politik.

Tidak susah, karena Pancasila mengajarkan demikian.

Itu saja.