Bagi setiap orang, perpisahan tentu menyakitkan. Tapi banyak siasat untuk mengelabui sakit perasaan. Banyak kalangan menganggap menangis saat perpisahan adalah hal memalukan. Terutama bagi laki-laki, air mata saat perpisahan bak mata air di padang pasir. Sangat berharga. Itu pun kalau ada.
Di kampung pertama saya, ketika ada orang yang mau merantau, pergi untuk berpisah dengan sanak saudara keluarga kemudian diiringi derai tangisan, maka akan ditertawakan. Alasannya jelas, bahwa merantau itu untuk mengadu nasib mengais rezeki bukan mempertaruhkan nyawa, jadi tak perlu diratapi, tak usah ditangisi.
“Orang mau pergi kerja kok ditangisi, kecuali mau pergi ke medan peperangan”.
Begitu kira-kira perbandingan dan kesepakatan bersama warga kampung saat menghadapi detik-detik perpisahan perantauan. Ya, ekspresi mereka kelihatan begitu biasa-biasa saja.
Saya menduga mungkin karena mereka terbiasa ditinggalkan oleh harapan. Atau hal lain : ada beban hidup yang lebih berat nan menyedihkan yang mereka rasa lebih butuh linangan air mata, dibanding sekedar melepas kepergian.
Tapi bisa saja, warga kampung memang lebih perkasa menghadapi kenyataan.
Tapi tunggu dulu, saya punya cerita di kampung saya yang kesekian.
Polewali Mandar. Sepuluh tahun saya bersama : mengais rezeki dan berkeluarga. Dengan itu saya sudah menganggapnya sebagai kampung ketiga. Tentu setelah Rembang sebagai kampung kesayangan dan Makassar sebagai arena perjuangan.
Pertama, saya berterima kasih, karena alam, budaya dan manusia Polewali Mandar mau menampung saya.
Selama sepuluh tahun saya begitu menikmati gunung, sawah dan pantainya. Darinya : durian, langsat, rambutan, beras pulen, dan ikan segar telah menjadi daging dan darah saya.
Angin gunung dan udara pantainya juga membuat hidung saya begitu plong menghirup aromanya. Lega.
Hijau gunung dan birunya laut telah membantu menghambat laju minus mata saya.
Daerah dengan potensi komplet ala Polewali Mandar dengan : gunung, sawah dan lautan selalu saya rekomendasikan sebagai tempat menghabiskan hidup enak.
Cita rasa masakan juga tak mudah lekang : bau peapi, ikan masak khas Mandar yang begitu kuat rasa bawangnya, loka anjoroi, pisang rebus dengan cita rasa santan. Menurut saya yang juara tentu adalah jepa, makanan bertekstur seperti roti berbentuk bak pizza berbahan singkong dan parutan kelapa ini begitu terasa khasnya ketika dinikmati bersama bau peapi, rasanya saling mengikat erat. Khas.
Golla kambu, sambusa’, pupuq, tetuq, kasippi, dan masih banyak khas yang lain, dan maaf saya tak mampu sebut semuanya.
Kok makanan?, mumpung puasa kita menceritakannya. Karena menurut Gus Baha’ momen puasa inilah orang sangat menghargai makanan minuman. Menurut beliau, air putih yang pada hari biasa dianggap biasa, tapi saat puasa akan sangat istimewa. Hidangan makanan saat Maghrib tiba akan membuat kita senang, itu pada saat kita puasa, pada hari lain itu biasa.
Di Polewali Mandar, saya juga bersama dengan orang-orang yang menyenangkan : teman, sahabat, sudah bak keluarga.
Saya sudah memiliki kelompok jagongan, teman ngumpul : ngobrol kiri-kanan sambil ngopi, cerita ndak cerita asal sudah bersama, itu menyenangkan. Filosofinya jelas, pertemuan rasa.
Pokoknya, bersama mereka saya sudah merasa menjadi warga Polewali Mandar seutuhnya, setara, apalagi setelah makan bau peapi dan jepa. Hahaha…
Kemudian, saya meninggalkannya. Jeng-jeng…
Untuk itu, setelah berterima kasih tentunya yang kedua saya juga minta maaf. Selama sepuluh tahun saya ikut mengotori tanah Polewali Mandar : tak terhitung air sabun, air deterjen cucian telah mengguyur tanahnya. Berapa ratus kilogram pula sampah yang telah saya hasilkan yang berdampak pada tanah dan mungkin pada airnya.
Tak terhingga pula kontribusi polusi udara saya berikan akibat tarikan gas motor dan kendaraan yang nyetrika jalanan Polewali, hampir tiap hari. Belum lagi kebiasan kecil bakar-bakar sampah sore jelang petang. Termasuk juga mungkin bakar-bakar ikan segarnya?. Bisa saja.
Kata-kata kasar, pikiran-pikiran bengkok, amarah, dan dosa-dosa lain : dosa mata, dosa telinga, dosa kaki, dosa tangan dan seterusnya. Saya rasa ikut juga mengotori nuansanya.
Karena saya tahu, daerah dan masyarakat Polewali Mandar dibangun atas dasar kearifan dan barakka’ para wali, to salama, dan annangguru. Kepada diri dan beliau-beliau, saya haturkan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya.
Pada sandeq, sayyang pattudu dan aneka seni budaya lain, saya mengevaluasi diri bahwa lebih sering menjadikan itu semua sebagai objek budaya daripada menghargainya sebagai subjek kearifan dan kekayaan intelektual masyarakat lokal yang mesti dirawat dan diruwat bersama.
Selama berkelana, baru saya dapati manusia-manusia dengan potensi seni yang begitu melimpah bahkan merata hingga ke pelosok desa. Kayaknya manusia Polewali Mandar terlahir untuk menjadi seniman, hampir semuanya.
Soal kontribusi nyata, tak akan sebanding dengan apa yang diberikan oleh Polewali Mandar kepada saya. Lha wong saya selama sepuluh tahun hanya mengais rezeki mengadu nasib.
Akan beda maknanya sepuluh tahun bagi eksekutif legislatif. Bagi blio-blio sepuluh tahun adalah dua periode kepemimpinan dan pengabdian yang tentu saja bisa mengerek digit angka pembangunan, menekan angka kemiskinan dan pengangguran di Polewali Mandar. Semoga tidak sekedar angka.
Setelah sepuluh tahun. Terasa berat meninggalkan. Sebenarnya.
Tapi seperti laki-laki kebanyakan yang selalu bersiasat atas perasaan meninggalkan, saya juga tidak pernah menceritakan perpindahan, perpisahan kepada teman, sahabat dekat dengan gamblang. Kalaupun harus bercerita, itu pada detik-detik terakhir sembari menata raut muka.
Benar kata Rusdi Mathari, bahwa laki-laki memang tidak menangis, tapi hatinya yang berdarah-darah. Pada sebuah kenangan.
Untuk itu, saya akan menikmatinya dengan masuk kamar, matikan lampu dan putar lagu sayang-sayang Mandar. Hehe…
Polewali Mandar. Semoga tetap menjadi daerah yang menyenangkan bagi warganya dan juga bagi kita-kita ini yang telah meninggalkan.
Polewali Mandar, saya akan mengunjungimu kembali dan lagi.